IQ
MAKNA
DAN HUBUNGAN DENGAN PRESTASI ANAK
Maysandi Adidarma P
IQ,
Sejarah dan Maknanya
Salah satu istilah dalam bidang psikologi yang mungkinterkenal
saat ini adalah IQ. Apalagi menjelang saat saat kenaikan kelas atau pendaftaran
sekolah,hasil dari tes IQ sering dicari dan dikejar oleh orang tua maupun anak.
Dan ketika melihat hasil score yang tinggi, orang tua akan menarik nafas lega
yang berarti anak itu padai. Juga bisa dipastikananak itu akan diterima di
sekolah yang diinginkan atau favorit dan berhasil menempuh pelajaranya.
Apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan IQ?
Perkataan IQ sebenarnya merupakan singkatan dari Intelligence Quotient. Istilah ini mulai
digunakan sekitar tahun 1900-an. Dan pada tahun 1904 MenteriPendidikan
Perancismembentuk suatu panitia untuk mencari tahu mengapa jumlah murid sekolah
dasar senantiasa keterbelakang menerima pelajaran dan tidak naik kelas
Tahun 1905 Alfred Binet mempublikasikan tes
inteligensi yang disebut Skala Binet
Simon. Skala ini disusun untuk membantu pihak sekolah dalam memberdayakan
anak yang intelegensinya rendah, yang kurang berhasil dalam sekolah dan anak
yang intelegensinya normal. Kemudian ahli-ahli dari Amerika melakukan perbaikan
atau revisi terhadap skala Binet Simon ini dan hasilnya adalah yang
dikembangkan oleh Lewis Terman dari Universitas Stanford, yang sering dikenal
dengan nama skala Stanford Binet. Nah dari skala nilah Iq mulai dikembangkan.
Sebenarnya IQ adalah perbandingan atau ratio (quotient)
antara umur mental (Mental Age/ MA) dan umur Kronologis (Choronological atau
Calendar Age/ CA) dari anak. Contohnya, Andi yang terlahir dibulan Maret tahun
2004 mempunyai umur kronologis 8 tahun pada Maret 2012. Andi dapat
menyelesaikan soal Intelegensi sampai batas usia 10 tahun, maka dikatakan umur
mentalnya 10 tahun, dari perbandingan umur mental dan umur kronologis Andi
diperoleh IQ 125.
Bagaimana Cara Menghitung IQ sehingga mendapatkan
nilai 125?
Sederhana sekali.
Rumusnya adalah
MA : CA X 100
Contoh
10 : 8 X 100
= 125
Cara penghitungan IQ yang cukup sederhana ini memang
cukup tepat bila diterapkan pada anak-anak. Tapi tidak ditujukan pada orang
dewas, yang pertumbuhaan mentalnya telah berakhir. Karena terdapat penghitungan
lain untuk orang dewasa
IQ
dan Prestasi Sekolah
seoarang ang mempunyai tingkat intelegensi yang sama namun mengapa diperleh hasil yang berbeda saat raport dibagikan, mungkin ini dikarenakan dari berbagai faktor mungkin anak tersebut cukup andai namun tidak ulet juga faktor kesulitan dlam mental (frustasi/ stres) juga dikarenakan tidak adanya dorongan atau hasrat berprestasi yang rendah dibawah kemampuan beprestasiya (IQ). dorongan berprestasi ini menyebabkn semangat juang yang mengebu-gebu. bia juga anak malas dikarenakan terlalu dimana oleh orang tua. IQ memang jembatan untuk mengetahui masa depan anak namun ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Menurut penelitian , Thurstone (Psikolog), menyebutkan bahwa ada 7 faktor utama dalam intelegensi yaitu
- Kemampuan verbal,
- Kelancaran kata-kata,
- Keampuan berhitung,
- Kemampuan ruang,
- Ingatan,
- Kemampuan Persepsi,
- Kemampuan Penalaran.
oleh karena itu menurut Maysandi Adidarma bahwa kemampuan IQ memang dapat menjadi olak ukur masa depan seorang anak namun kemampuan itu tidaklah menjadi "Raport" yang memastikan bahawa di dapat berprestasi maksimal, maka perlunya adanya semangat pantang menyerah dan berprestasi walau si anak memilii Score IQ yang rendah namun pasti ada kelebihan lain, karena seorang yang sucses tidak ditentukan pada IQ saja namun juga EQ, SQ (Spiritual Quotient) dll
Perlunya
mengartikan IQ dan EQ
Seringkali orang salah mengartikan intelegensi
dengan hanya melihat satu kemampuan saja. Pada kenyataannya, ada banyak kasus
dimana seseoran yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi,
tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah.
Ternyata IQ (intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan
meraih kesuksesan. Akan tetapi, kenyataannya dalam lapangan kerja yang semakin
kompetitif dan spesialistis, membuat tidak seorangpun individu atau institusi
yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus bekerja sama dalam tim, karenanya
setiap orang dituntut untuk berkemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Ada seseorang anak yang sangat mampu dalam pelajaran
logika atau menghitung khususnya matematika, namun ada juga seorang anak yang
tidak memiliki kecerdasan dakam pelajaran tersebut, namun dia memiliki potensi
misalnya menggambar. Banyak orang berpandangan, bahwa jika seseorang memiliki
kemampuan eksakta atau berhubungan dengan pelajaran, maka masa depan anak itu
akan sukses, karena memiliki kemampuan untuk menghitung. Padahal setiap kemampuan
orang masing-masing berbeda-beda. Orang yang sangat ahli matematika belum tentu
ahli dalam seni, olahraga, musik dan lain-lain. Bahkan orang yang sangat pandai
dalam pelajaran belum tentu sukses seperti seniman terkenal yang belum tentu
mereka memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan mungkin malah putus sekolah.
Seorang psikolog dari Yale University, Peter Salovey
melakukan suatu penelitian, melalui sebuah tes sederhana dimana anak-anak
berusia 4 tahun diundang masuk ke dalam suatu ruangan dan diberi instruksi sbb,
"Siapa yang mau satu buah permen marshmallow sekarang ini bisa langsung
mendapatkannya (kelompok I), tapi jika ada yang mau menunggu sampai saya
kembali, akan mendapatkan 2 buah permen (kelompok II)." Kemudian peneliti
itu meninggalkan ruangan tersebut Kelompok I seketika itu juga mengambil
marshmallow saat peneliti keluar ruangan. Kelompok II menunggu sampai peneliti
kembali. Kemudian hasil pengelompokan anak dicatat dan para peneliti
menindaklanjuti sampai dengan anak-anak tersebut tumbuh berkembang memasuki
usia sekolah lanjutan (SLA).
Rupanya terjadi perbedaan yang berarti di antara kedua kelompok anak
tersebut. Kelompok anak yang memperoleh dua buah marshamallow memiliki
kemampuan adaptasi yang lebih baik, lebh populer, berjiwa petualang, percaya
diri dan mandiri daripada kelompok yang pertama. Sedangkan kelompok anak yang
pertama lebih bersifat menyendiri, mudah frustasi, keras kepala, tidak tahan
stres, pemalu dan menghindari tantangan. Ketika kedua kelompok mengambil tes
bakat yang berhubungan dengan pelajaran akademik sekolah, kelompok II yang
mampu bertahan, mendapat nilai sebesar 210 poin daripada kelompok I (nilai
bervariasi mulai dari yang terendah 200 sampai dengan 800 poin, dengan angka
rata-rata 500 poin untuk seluruh murid).
Sejak kecil kemampuan untuk berikap sesuai dengan
peraturan merupakan bagian dari yang disebut istilah EQ. Peter menyatakan,
bahwa IQ menyebabkan seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ
menyebabkan seseorang mendapatkan promosi (kenaikan pangkat/jabatan) dalam
pekerjaan itu. Beliau juga menyarankan pentingnya mendefinisikan dalam dunia
yang kompleks ini apa sebenarnya arti menjadi cerdas.
Singkatnya ketika seseorang akan memprediksi sukses
yang akan datang, kekuatan otak sebaimana diukur oleh IQ dari achievement test,
sesungguhnya lebih kecil dibanding kekuatan karakter, atau EQ-nya. Definisi IQ
(Intelligence Quotient) adalah seberapa cerdas seseorang, sedangkan definisi EQ
(Emotional Quotient) adalah seberapa baik seseorang mempergunakan kecerdasan
yang dimilikinya.
Sumber : Berbagai Buku Psikologi Anak dan Internet